Mengukur Manfaat Biaya Diklat dengan Return of Training Investmen/RoTI
MENGUKUR MANFAAT BIAYA PELATIHAN
(Dengan Metode Pendekatan Analisis Return of Trainning Investment/ RoTI)
Oleh :
Madyunin )*
Latar Belakang.
Pentingnya peningkatan kompetensi pelaku usaha bidang kelautan dan perikanan yang terus menerus kemudian dukungan Balai Diklat memberikan pendidikan dan pelatihan/training yang mampu meningkatkan kompetensi pelaku usaha bidang KP untuk terus meningkatkan produktivitas usaha yang dilakukannya.
Setelah training diberikan, tentunya lembaga penyelengara pelatihan perlu mengetahui sejauhmana kontribusi training tersebut terhadap perubahan atau peningkatan kinerja pelaku usaha KP maupun kegiatan usahanya secara keseluruhan. Hal ini penting karena disadari bahwa belum tentu training yang diberikan kemudian selalu memberikan hasil yang efektif sesuai dengan yang diharapkan pelaku usaha KP maupun penyelenggara Diklat. Untuk itu, perlu dilakukan evaluasi guna mengukur sejauhmana manfaat training tersebut terhadap tujuan yang ingin dicapai. Terkait dengan hal tersebut, Donald L. Kirkpatrick (1998) mengatakan bahwa evaluasi suatu training adalah bagian yang tidak terpisahkan dari penyelenggaraan training itu sendiri dan bahwa evaluasi tersebut merupakan kegiatan yang harus dilakukan agar training secara keseluruhan dapat berlangsung dengan efektif.
Balai Diklat Perikanan Banyuwangi dalam kurun waktu enam tahu terakhir 2010-2015 mengalami peningkatan jumlah output Diklat secara signifikan, dengan output Diklat selama enam tahun 25.416orang. Adalah sebuah angka yang cukup besar untuk ukuran lemnbaga pelatihan setingkat eselon III di lingkup Badan SDM Kelautan dan Perikanan. Trend peningkatan jumlah output pelatihan Balai Diklat Perikanan banyuwangi dari tahun 2010 sd 2015 seperti grafik di bawah ini :
Gambar 1: Grafik Trend Kenaikkan Output Diklat Di Balai Diklat Perikanan Banyuwangi (Sumber LAKIP BPPP Banyuwangi Th. 2016)
Pertanyaan yang muncul adalah sudah seberapa besar manfaat yang diperoleh dari hasil pelatihan dibandingkan dengan besar biaya yang dikeluarkan dalam rangka membiayai pelatihan tersebut? Pertanyaan berikutnya, lalu bagaimana caranya kita bisa mengukur manfaat dari hasil pelatihan tersebut secara ekonomi?
Masalah
Berdasakan latar belakang seperti disebutkan di atas, maka ada beberapa permasalahan yang bisa ditarik, kaitannya dengan manfaat biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan Pelatihan di Bidang Teknis Perikanan yang diselenggarakan oleh balai diklat perikanan banyuwangi yaitu :
1. Seberapa besar nilai manfaat ekonomi setiap Rupiah uang yang dibelanjakan untuk kegiatan pelatihan teknis bidang perikanan?
2. Sampai seberapa lama biaya pelatihan teknis di bidang perikanan dapat dikembalikan?
Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai :
1. Untuk mengetahui besarnya nilai manfaat ekonomi setiap Rupiah yang dibelanjakan untuk kegiatan pelatihan teknis bidang perikanan.
2. Untuk mengetahui berapa lama biaya pelatihan teknis di bidang perikanan dapat dikembalikan?
Tinjauan Pustaka
Pelatihan
Ivancevich (2008) memberikan batas tentang pelatihan sebagai berikut : Pelatihan (Diklat) adalah “sebuah proses sistematis untuk mengubah perilaku kerja seorang/sekelompok pegawai dalam usaha meningkatkan kinerja organisasi”. Pelatihan terkait dengan keterampilan dan kemampuan yang diperlukan untuk pekerjaan yang sekarang dilakukan. Pelatihan berorientasi ke masa sekarang dan membantu pegawai untuk menguasai keterampilan dan kemampuan (kompetensi) yang spesifk untuk berhasil dalam pekerjaannya.
Tujuan Pelatihan
a. Tujuan umum pelatihan sebagai berikut :
- untuk mengembangkan keahlian, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan dengan lebih cepat dan lebih efektif,
- untuk mengembangkan pengetahuan, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan secara rasional, dan
- untuk mengembangkan sikap, sehingga menimbulkan kemauan kerjasama dengan teman-teman pegawai dan dengan manajemen (pimpinan).
b. Tujuan Diklat oleh balai Diklat Perikanan Banyuwangi sebagai berikut :
Untuk meningkatkan pengetahuan, keterampil dan sikap dari para peserta diklat dan selain dari tiga ranah tersebut, yang menjadi tujuan lebih lanjut yaitu memberikan dampak / manfaat ekonomi yang diakibatkan karena mengikuti kegiatan Diklat.
Evaluasi Diklat
Evaluasi pelatihan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi bahwa pelatihan yang dilaksanakan apakah memberikan manfaat atau tidak bagi purnawidya. Proses evaluasi melalui tahapan :
- Melaksanakan Training Need Analysis (TNA) atau analisa kebutuhan pelatihan.
- Mengembangkan ukuran hasil belajar dan analisis transfer of training.
- Mengembangkan pengukuran outcome.
- Menentukan strategi evaluasi.
- Merencanakan dan melaksanakan evaluasi.
Setelah Diklat diberikan, tentunya perusahaan perlu mengetahui sejauh mana kontribusi Diklat tersebut terhadap perubahan atau peningkatan kinerja purnawidya maupun perusahaan secara keseluruhan. Hal ini penting karena disadari bahwa belum tentu Diklat yang diberikan kemudian selalu memberikan hasil yang efektif sesuai dengan yang diharapkan perusahaan. Untuk itu, perlu dilakukan evaluasi untuk mengukur sejauhmana efektivitas Diklat tersebut terhadap tujuan yang ingin dicapai.
Terkait dengan hal tersebut, Donald L. Kirkpatrick (1998) mengatakan bahwa evaluasi suatu Diklat adalah bagian yang tidak terpisahkan dari penyelenggaraan Diklat itu sendiri dan bahwa evaluasi tersebut merupakan kegiatan yang harus dilakukan agar Diklat secara keseluruhan dapat berlangsung dengan efektif.
Pada tahun 1959, Kirkpatrick mengemukakan teorinya yang terkenal mengenai evaluasi Diklat melalui tulisannya di American Society for Diklat and Development Journal. Menurutnya, ada empat tingkat/ level dalam evaluasi Diklat, yaitu:
- Level 1: Reaction
Evaluasi pada tingkat ini mengukur reaksi kepuasan peserta terhadap pelaksanaan Diklat.
− Level 2: Learning
Evaluasi pada tingkat ini mengukur sejauh mana peserta memahami materi Diklat yang disampaikan dalam tiga domain kompetensi: knowledge, skill, dan attitude.
− Level 3: Behavior
Evaluasi pada tingkat ini mengukur sejauh mana peserta menerapkan/ mengimplementasikan pemahaman kompetensi yang diperolehnya tersebut dalam lingkungan pekerjaannya.
− Level 4: Results
Evaluasi pada tahap ini mengukur seberapa besar dampak pelaksanaan Diklat terhadap kinerja purnawidya ataupun hasil akhir yang diharapkan.
Meskipun masing‐masing tingkat evaluasi tersebut mengukur hal yang berbeda dan tidak sekuensial, Kirkpatrick menegaskan bahwa evaluasi Diklat harus dilakukan tingkat demi tingkat agar tidak terjadi bias dalam menginterpretasikan hasil evaluasi tersebut. Evaluasi pada Level 3, misalnya, sebaiknya dilakukan apabila Level 1 dan 2 telah dievaluasi dan diinterpretasikan hasilnya terlebih dahulu. Level 1 dan 2 dilakukan pada saat Diklat dilakukan, sementara Level 3 dan 4 dilakukan beberapa waktu setelah purnawidya kembali ke pekerjaannya.
Mencermati keempat tingkat evaluasi tersebut, maka dapat dipahami bahwa Level 1 merupakan evaluasi yang paling sederhana dan mudah untuk dilakukan, sementara Level 4 adalah evaluasi yang paling sulit. Umumnya, lembaga Diklat melakukan evaluasi pada Level 1 dan 2 saja dengan pertimbangan keterbatasan waktu, biaya, maupun metode pengukurannya, sebagaimana diuraikan pada bagian lain tulisan ini. Mereka sudah puas pada hasil evaluasi yang mengatakan, misalnya, bahwa Diklat telah dilaksanakan dengan baik, modul‐modul yang diberikan cukup menarik, cara penyampaian oleh trainersudah baik, materi yang disampaikan dapat dipahami oleh peserta, serta hal‐hal teknis lainnya.
Penyelenggaraan evaluasi Level 1 dan Level 2 ini juga relatif mudah dan murah karena dilakukan saat peserta masih berada di lokasi Diklat dan belum kembali ke tempat kerjanya. Metode evaluasi yang digunakanpun relatif sederhana dan bersifat umum dalam pengertian dapat digunakan untuk hampir semua jenis Diklat. Sayangnya, hasil evaluasi pada Level 1 dan 2 tersebut menjadi kurang bermakna ketika muncul pertanyaan‐pertanyaan kritis seperti ”Mampukah purnawidya nantinya menerapkan pengetahuan dan keterampilan barunya tersebut dalam pekerjaannya sehari‐hari?” atau ”Relevankah materi yang diberikan dengan kenyataan yang dihadapi?” atau lebih jauh lagi ”Apakah dengan mengikuti Diklat tersebut purnawidya terbukti meningkat kinerjanya?” dan sejumlah pertanyaan lain yang secara keseluruhan akan menggugat efektivitas penyelenggaraan suatu Diklat.
Sebaliknya, evaluasi pada Level 3 dan 4 dapat memberikan jawaban atas semua pertanyaan kritis tadi. Evaluasi pada Level 3 mampu memberikan pemahaman kepada penyelenggara Diklatmengenai apakah materi yang diberikan dapat diterapkan atau diimplementasikan dengan baik dalam pekerjaan sehari‐hari dan jika ternyata tidak, kendala‐kendala apa yang perlu diatasi. Hal yang lebih penting lagi, evaluasi pada tahap ini dapat memberikan feedback yang berharga bagi penyempurnaan pelaksanaan Diklat secara keseluruhan dihubungkan dengan kenyataan yang ada sehingga pada akhirnya dapat memberikan kontribusi yang nyata terhadap peningkatan kinerja purnawidya.
Sementara itu, evaluasi pada Level 4 akan memberikan jawaban akhir mengenai apakah tujuan penyelenggaraan suatu Diklat telah tercapai atau belum. Umumnya, suatu Diklat diselenggarakan dengan tujuan memberikan dampak yang positif terhadap kinerja purnawidya, misalnya peningkatan hasil penangkapan ikan, peningkatan hasil produksi budi daya ikan per satuan luasan unit usaha, penurunan biaya produksi, dan sebagainya, meski ada pula Diklat yang tidak berdampak langsung terhadap kinerja purnawidya, seperti Diklat mengenai kepemimpinan, kerjasama antarpegawai, dan sebagainya.
Mencermati hal tersebut, maka dapat dipahami bahwa evaluasi hingga Level 3 dan Level 4 sebenarnya merupakan suatu keharusan apabila lembaga Diklat (Balai Diklat) ingin mengetahui apakah hal‐hal yang menjadi tujuan Diklat telah tercapai dan dengan demikian berarti pula bahwa Diklat tersebut telah terselenggara secara efektif. Sayangnya, masih banyak lembaga Diklat yang menghadapi berbagai masalah dan kendala dalam melakukan evaluasi Diklat hingga level tersebut.
Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan mengapa evaluasi Level 3 dan Level 4 jarang dilakukan, sebagai berikut: :
a. Waktu
Evaluasi pada Level 3 dan 4 membutuhkan waktu yang relatif cukup lama karena dilakukan setelah purnawidya kembali ke tempat pekerjaannya semula. Jika dalam satu tahun Balai Diklat menyelenggarakan 10 Diklat saja setiap bulannya dengan jumlah peserta rata‐rata 30 orang dapat dibayangkan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengevaluasi setiap Diklat tersebut. Apalagi, evaluasi harus dilakukan beberapa waktu setelah Diklat diselesaikan agar terdapat cukup waktu bagi purnawidya untuk menerapkan materi Diklat tersebut di lingkungan pekerjaannya sehari‐hari.
a. Biaya
Lamanya waktu yang diperlukan serta banyaknya dan tersebarnya jumlah purnawidya yang perlu disertakan dalam evaluasi Level 3 dan 4 ini mengakibatkan biaya yang diperlukan juga relatif besar, apalagi dibandingkan dengan biaya untuk melakukan evaluasi Level 1 dan 2.
b. Metode Pengukuran
Banyak lembaga Diklat belum memahami metode pengukuran yang tepat untuk melakukan evaluasi pada Level 4. Salah satu masalah yang dihadapi adalah cara untuk mengukur seberapa besar peranDiklat terhadap perubahan/peningkatan kinerja yang terjadi. Disadari bahwa peningkatan kinerja seorang nelayan, pembudidaya, pengolah hasil perikanan dan lainnya tidak hanya disebabkan oleh Diklatsemata, melainkan dapat pula akibat faktor‐faktor lainnya, seperti adanya lingkungan kerja yang mendukung, perbaikan sistem dan metode kerja, peningkatan teknologi yang digunakan, dan sebagainya. Terkait dengan hal tersebut maka perlu dilakukan pemilahan/isolasi atas peningkatan kinerja atau result yang benar‐benar merupakan dampak Diklat dan bukannya disebabkan oleh faktor‐faktor lainnya.
Spesifikasi Evaluasi
Berbeda dari evaluasi Level 1 dan Level 2 yang bersifat umum, evaluasi Level 3 dan Level 4 memiliki spesifikasi khusus yang berbeda antara satu Diklat dengan Diklat lainnya. Dengan demikian, evaluator harus memiliki pengetahuan yang mencukupi tentang Diklat itu sendiri, khususnya dikaitkan dengan pekerjaan yang ditangani sehari‐hari oleh purnawidya tersebut.
Lebih jauh lagi, hasil evaluasi pada Level 4 ini dapat digunakan sebagai dasar perhitungan Return on Training Investment (ROTI) yang membandingkan hasil yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan suatu Diklat. Balai Diklat semakin menyadari pentingnya dilakukan evaluasi hingga Level 4 sekaligus pengukuran ROTI‐nya agar mereka memiliki keyakinan bahwaDiklat yang diselenggarakannya benar‐benar memiliki dampak positif terhadap kinerja usahaya serta masih memberikan keuntungan finansial yang lebih besar dibandingkan dengan biaya yang mereka keluarkan.
Beberapa peneliti juga menekankan pentingnya evaluasi Diklat yang didasarkan pada perhitungan finansial agar mampu memberikan informasi yang nyata dan tegas kepada pelaku usaha mengenai kontribusi Diklat tersebut terhadap kinerja usahanya.
Uraian di atas menyiratkan perlunya dilakukan evaluasi Diklat yang lengkap dan komprehensif untuk mengetahui efektivitas penyelenggaraan Diklat tersebut dalam konteks perubahan/peningkatan kinerja purnawidya yang pada gilirannya membawa dampak positif bagi kemajuan usahanya. Lebih jauh lagi, pengukuran efektivitas Diklat tersebut haruslah dilakukan dalam hubungannya dengan business results dan return on investment agar dapat memberikan gambaran finansial yang sebenarnya bagi usahanya.
Teori Evaluasi Diklat:
The Four Levels
Salah satu teori mengenai evaluasi Diklat dikemukakan oleh Kirkpatrick pada tahun 1959, yang dikenal dengan The Four Levels Techniques for Evaluating Diklat Programs. Pada prinsipnya, teori ini menyatakan bahwa proses evaluasi suatu Diklat terdiri dari empat tingkat/level yaitu Level 1 sampai dengan Level 4 yang, meskipun tidak sekuensial, saling terkait satu dengan lainnya. Teori ini sangat terkenal dan telah menjadi bahan diskusi dan perdebatan hingga saat ini, khususnya evaluasi pada Level 4, sehingga bahkan dapat dikatakan tidak ada teori lain mengenai evaluasi Diklat yang demikian terkenalnya dibandingkan teori Kirkpatrick ini.
Evaluasi Diklat Level 1: Reaction
Kirkpatrick mengatakan bahwa evaluasi atas reaksi peserta mengenai Diklat yang diikutinya merupakan hal yang penting untuk dilakukan karena menurutnya apabila seorang peserta bereaksi negatif dan tidak menyukai cara‐cara penyelenggaraan Diklat maka jangan diharapkan dia mampu mempelajari dan memahami dengan baik materi yang disampaikan dalam Diklat tersebut. Hal‐hal yang dievaluasi pada level ini antara lain mengenai materi Diklat, instruktur/ trainer, fasilitas yang disediakan, waktu penyelenggaraan, serta metode yang digunakan.
Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh dengan melakukan evaluasi Level 1 ini. Pertama, memberikan umpan balik (feedback) yang berguna bagi penyempurnaan penyelenggaraan Diklatberikutnya. Kedua, jika peserta tidak ditanya reaksinya maka dengan kata lain pihak penyelenggara akan merasa paling tahu dan sudah merasa benar dalam menyelenggarakan Diklat. Ketiga, evaluasi Level1 akan memberikan informasi kuantitatif yang dapat menjadi masukan bagi para pimpinan ataupun pihak‐pihak lain yang berkepentingan dengan program Diklat tersebut. Keempat, umpan balik pesertaDiklat akan memberikan informasi yang sangat berharga bagi para trainer dalam meningkatkan kinerjanya pada program‐program Diklat berikutnya.
Evaluasi Diklat Level 2: Learning
Tiga domain kompetensi (knowledge, skills, dan attitudes) merupakan hal‐hal yang dapat diajarkan dalam suatu Diklat. Oleh karenanya, evaluasi pada level ini juga menekankan pada seberapa jauh pembelajaran (learning) peserta atas materi Diklat dalam konteks peningkatan kompetensi mereka. Kirkpatrick menekankan pentingnya dilakukan evaluasi ini karena menurutnya jika seorang peserta tidak dapat memahami dengan baik materi yang diberikan, maka jangan berharap akan terjadi perubahan dalam behavior‐nya saat dia kembali ke tempat kerjanya.
Untuk mengetahui apakah seorang peserta telah memahami dengan baik materi Diklat, biasanya dilakukan pengujian sebelum dan sesudah Diklat (pre‐test dan post test) dengan materi yang sama atau tidak jauh berbeda sehingga hasilnya dapat diperbandingkan. Jika terdapat peningkatan skor hasil post‐test dibandingkan pre‐test maka diyakini bahwa peserta tersebut telah memiliki pemahaman yang lebih baik sebagai dampak mengikuti Diklat.
Evaluasi Diklat Level 3: Behavior
Evaluasi Level 3 ini dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh perubahan yang terjadi pada purnawidya pada saat dia kembali ke lingkungan pekerjaannya setelah mengikuti Diklat, khususnya perubahan atas behavior ketiga domain kompetensi (knowledge, skills, dan attitudes). Menurut Kirkpatrick, pertanyaan kritis pada evaluasi ini adalah: perubahan‐perubahan dalam job behavior apa saja yang terjadi setelah seorang purnawidya mengikuti Diklat tertentu?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, menurutnya ada tiga hal penting yang harus diperhatikan yaitu pertama, purnawidya tidak dapat merubah behavior‐nya sampai dia memperoleh kesempatan untuk melakukannya. Kedua, sangat sukar untuk memperkirakan kapan perubahan itu akan terjadi dan ketiga, bisa jadi purnawidya tadi menerapkan pengetahuan dan keterampilan barunya dalam pekerjaannya sehari‐hari sekembalinya dari Diklat, namun kemudian tidak melakukannya lagi di kemudian hari.
Dengan kata lain, evaluasi Level 3 ini tidak cukup hanya sekedar mengukur perubahan yang terjadi pada behavior purnawidya, namun lebih jauh lagi perlu dievaluasi pula sejauhmana perubahan yang terjadi tersebut dapat diterapkan dalam praktek kerja sehari‐harinya. Evaluasi ini perlu dilakukan karena bisa saja perubahan yang dialami oleh purnawidya pelatihan berupa meningkatnya pengetahuan, bertambahnya keterampilan, atau berubahnya perilaku dalam bekerja pada kenyataannya tidak membawa pengaruh besar ketika dicoba untuk diterapkan dalam pekerjaannya, hal mana disebabkan oleh adanya faktor‐faktor non‐Diklat yang menjadi penghambat, misalnya sistem operasional yang kurang handal, lingkungan kerja yang kurang kondusif, dan sebagainya. Memperhatikan pentingnya penerapan perubahan behavior dalam praktek kerja sehari‐hari, Kirkpatrick juga menyarankan perlunya diberikan bantuan, dorongan, serta penghargaan bagi purnawidya pelatihan ketika dia kembali ke tempat kerjanya.
Evaluasi Diklat Level 4: Results
Evaluasi Level 4 diakui oleh Kirkpatrick sebagai evaluasi yang paling penting sekaligus paling sulit untuk dilakukan, yaitu sejauh mana Diklat yang dilakukan memberikan dampak/ hasil (results) terhadap peningkatan kinerja purnawidya, unit kerja, maupun unit usaha secara keseluruhan. Kirkpatrick meyakini bahwa dampak Diklat terhadap kinerja tidaklah mungkin dievaluasi dalam konteks analisis keuangan. Ada dua hal yang mendasari keyakinannya tersebut. Pertama, tidaklah mungkin mengukur results yang diperoleh dari Diklat dalam satuan keuangan untuk kemudian dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan Diklat tersebut. Kedua, jikapun hal pertama tadi dapat dilakukan, analisis yang diperoleh tidak lalu menyimpulkan bahwa manfaat yang diperoleh merupakan hasil langsung dari program Diklat. Dengan kata lain, masih ada faktor‐faktor lain yang juga mempengaruhi peningkatan kinerja yang terjadi dan tidak semata‐mata merupakan hasil Diklat.
Menurut Kirkpatrick, results yang diperoleh seringkali merupakan sesuatu yang sangat sulit untuk dikuantifiikasikan, misalnya peningkatan kualitas kerja, produktivitas yang semakin meningkat, peningkatan kepuasan kerja, efektivitas komunikasi, penurunan tingkat kesalahan, peningkatan kerjasama antar pelaku usaha, dan sebagainya. Di sisi lain, biaya penyelenggaraan program juga terlalu sukar untuk ditentukan dan diisolasi dari biaya biaya lainnya. Dengan kata lain, terlalu banyak faktor yang mempengaruhi perhitungan manfaat maupun biaya suatu Diklat.
Kritik Atas Teori The Four Levels
Meskipun teori The Four Levels tadi telah memberikan dasar yang kuat dalam hal melakukan evaluasi Diklat, tidak sedikit pula pakar yang mengajukan kritik atas beberapa keterbatasan yang ada dalam teori tersebut. Dalam bukunya, Raymond A. Noe (2005) mengemukakan tiga kritik.
Pertama, penelitian yang dilakukan tidak menunjukkan pemahaman bahwa setiap level dipengaruhi oleh level sebelumnya sebagaimana yang dikemukakan dalam kerangka Kirkpatrick, dan juga bahwa tidak terbukti adanya perbedaan tingkat kepentingan dalam setiap level evaluasi.
Kedua, pendekatan yang digunakan dalam teori The Four Levels tidak mempertimbangkan tujuan dari evaluasi itu sendiri. Seharusnya, menurut Noe, hasil evaluasi tersebut dihubungkan dengan kebutuhan Diklat (Traning needs), tujuan Diklat, serta pertimbangan‐pertimbangan stratejik yang melatarbelakangi diselenggarakannya Diklat tersebut.
Kritik ketiga terkait dengan waktu pelaksanaan evaluasi. Menurut teori The Four Levels, evaluasi harus dilakukan secara bertahap, level demi level, padahal dalam kenyataannya evaluasi Level 1 danLevel 2 harus dilakukan dalam waktu yang hampir bersamaan ‐yaitu di akhir program‐ untuk mengukur apakah memang telah terjadi peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang positif atas para peserta Diklat.
Berdasarkan kritik‐kritik tersebut, para pakar berpendapat bahwa dalam melakukan evaluasi Diklat perlu dipertimbangkan pula beberapa keluaran Training (Training outcomes) lainnya agar mampu memberikan kesimpulan yang lebih komprehensif. Noe mengelompokkan Training outcomes tersebut dalam lima kategori, yaitu: cognitive outcomes (digunakan untuk mengukur sejauhmana peserta memahami prinsip‐prinsip, fakta, teknik, prosedur, atau proses kerja yang diberikan dalam Diklat), skill‐based outcomes (digunakan untuk mengukur peningkatan keterampilan dan perilaku kerja peserta), affective outcomes (digunakan untuk mengukur reaksi dan motivasi peserta atas penyelenggaraan Diklat), results (digunakan untuk mengukur kontribusi Diklat kepada peningkatan kinerja perusahaan), dan return on investment (membandingkan manfaat yang diperoleh dari hasil penyelenggaraan Diklat dengan biaya yang dikeluarkan).
Memperhatikan kelima kategori Training outcomes tersebut, maka hal yang paling membedakannya dengan teori The Four Levels sebenarnya adalah pada kategori kelima (return on investment) yang menegaskan perlunya diperbandingkan biaya penyelenggaraan Diklat dengan manfaat yang diperoleh dalam bentuk analisis finansial dengan menggunakan ukuran‐ukuran keuangan.
Pendekatan Finansial Dalam Mengukur Dampak Diklat: Return On Training Investment (RoTI)
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, teori The Four Levels telah menjadi bahan diskusi dan perdebatan hingga saat ini, khususnya evaluasi pada Level 4. Diskusi dan perdebatan terjadi sehubungan dengan mungkin tidaknya suatu Diklat diukur dalam perspektif finansial, khususnya dalam bentuk perhitungan Return on Investment (ROI) atau dalam hal ini Return on Traing Investment (ROTI).
Beberapa pakar, termasuk Kirkpatrick sendiri, berpendapat bahwa Level 4 mengukur seluruh hasil akhir (final result) yang disebabkan oleh Diklat tersebut dan bahwa yang dimaksudkan dengan pengukuran pada Level 4 tersebut bukanlah merupakan suatu analisis finansial, termasuk RoTI ataupun Diklat cost‐benefit analysis. Menurut Karie A. Willyerd (1997), banyak orang yang salah menginterpretasikan Level 4 sebagai tahap perhitungan ROI, padahal Kirkpatrick secara tegas menyebutnya sebagai tahap pengukuran results, dimana kedua istilah tadi pada dasarnya memiliki perbedaan yang cukup signifikan sehingga penting untuk dipermasalahkan.
Menurutnya, paling tidak ada tiga keterbatasan metode ROI yang menyebabkannya bukanlah merupakan alat diagnostik yang baik untuk mengevaluasi suatu Diklat. Pertama, ROI biasanya tidak mencakup seluruh tujuan stratejik perusahaan. Kedua, ROI lebih merupakan potret sesaat yang memberikan informasi mengenai apa yang telah dicapai perusahaan, namun tidak mampu memberikan gambaran mengenai apa yang akan dicapai di masa depan. Ketiga, ROI merupakan sebuah lagging indicator. Pendeknya, menurut Karie, ROI bukanlah suatu metode yang mampu memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai evaluasi Diklat sebaik yang diberikan oleh pengukuran result sebagaimana yang dimaksudkan oleh Kirkpatrick.
Sebaliknya, beberapa pakar justru menekankan pentingnya evaluasi Diklat yang didasarkan pada perhitungan finansial agar mampu memberikan informasi yang nyata dan tegas kepada pelaku usahamengenai kontribusi Diklat tersebut terhadap kinerja perusahaan. Sandra Shelton dan George Alliger (1993) menegaskan bahwa tidak dapat dihindari lagi bahwa perusahaan harus menghitung secara cermat setiap uang yang dikeluarkan untuk membiayai penyelenggaraan Diklat, dan bahwa perhitungan tersebut haruslah dalam konteks business results dan return on investment.
Jenis Pendekatan Pengukuran Kemanfaatan Pelatihan
- Perhitungan Manfaat Secara Tidak Langsung
Dikatakan tidak langsung karena pendekatan ini tidak memperhitungkan manfaat nyata dari pelatihan. Manfaat yang diperhitungkan bersifat prediktif, berdasarkan level dari knowledge acquisitionpeserta. Cara melakukan perhitungan tingkat pengembaliannya adalah dengan membandingkan peningkatan nilai pre test – post test dengan nilai standart test.
|
Pendekatan ini kurang tepat dalam memperhitungkan tingkat pengembalian pelatihan, karena :
- Tidak dapat mengidentifikasi manfaat nyata pelatihan
- Tidak dapat mengkonversi perhitungan dalam bentuk keuangan
- Berdasarkan asumsi bila seluruh knowledge acquisation akan diterapkan
Analisis Biaya dan Manfaat
Analisis biaya-manfaat (cost benefit) adalah penilaian dari suatu manfaat dan biaya untuk menentukan pro dan kontra atau keuntungan dan kerugian terhadap pilihan tertentu. Dengan cost benefit ratio, kita akan tahu seberapa besar nilai manfaat pelatihan per satu rupiah uang yang yang dikeluarkan perusahaan.
Keunggulan analisis biaya dan manfaat :
a. Dapat digunakan menentukan pelatihan mana yang dapat memaksimalkan net benefit yang akan diterima perusahaan.
b. Memungkinkan manfaat dan biaya yang akan dibandingkan dari waktu ke waktu.
c. Dapat menunjukkan biaya dan manfaat yang diperoleh untuk kelompok yang berbeda dalam perusahaan.
Cost benefit ratio akan lebih mudah dihitung jika terdapat data peningkatan kinerja purnawidya sebelum dan sesudah mendapatkan pelatihan. Biasanya yang lebih mudah terlihat adalah di Bagian Produksi karena dapat dilihat hasil produksinya. Kesulitannya adalah jika hasil kinerja purnawidya tersebut sifatnya tidak terlihat (intangible). Misalnya di Bagian administrasi atau supporting.
Pola Kajian
Pola kajian tentang pengujuran manfaat biaya pelatihan teknis perikanan secara garis besar dapat digambarkan sperti berikut ini :
Metodologi
Return on Training Investment (RoTI)
Dalam kajian mengukur nilai manfaat Pelatihan teknis di bidang Perikanan digunakan analisis pendekatan Return on Training Investment (RoTI). Adapun proses perhitungan RoTI meliputi :
a. Perencanaan evaluasi : mengembangkan sasaran pelatihan dan mengembangkan perencanaan evaluasi.
b. Pengumpulan data : mengumpulkan data sebelum dan sesudah pelatihan yang dapat dikonversikan dalam bentuk uang. Misalnya biaya langsung (konsumsi, ATK, bahan dan peralatan Diklat) dan tidak langsung (lumpsum, kehilangan pendapatan selama peserta terlibat dalam pelatihan).
c. Analisis data : menentukan isolasi efek pelatihan, merubah data dalam bentuk finansial (tangible) dan identifikasi keuntungan yang tidak dapat dituangkan dalam bentuk finansial (intangible), perhitungan biaya pelatihan, hitung RoTI.
d. Pelaporan : laporan hasil analisis data.
Adapun formulasi RoTI , (Kirkpatrick, 1996) adalah sebagai berikut :
Pengukuran ROTI untuk Pelatihan di Bagian Produksi
Isolasi efek merupakan upaya yang dilakukan untuk menjamin bahwa manfaat yang diperhitungkan dalam RoTI adalah murni manfaat yang diperoleh dari pelatihan saja. Untuk mengetahui isolasi efeksebuah pelatihan dapat dilakukan dengan metode :
- Control group : pelaku usaha yang tidak mendapat pelatihan.
- Participant/supervisor estimates dengan cara membuat kuesioner yang mencantumkan hal-hal yang mempengaruhi kinerja. Kuesioner diberikan kepada peserta pelatihan.
- Trend analysis menggunakan analisa proyeksi/asumsi sehingga kita tahu trendnya peningkatan kinerja antara sebelum dan sesudah pelatihan dalam kurun waktu 1 tahun atau yang telah ditentukan.
Ilustrasi Analisis RoTI dengan studi kasus.
Balai Diklat Perikanan Banyuwangi menyelenggarakan Pelatihan Penangkapan ikan Dengan Alat Tangkap Ramah Lingkungan yaitu Jaring Insang, Bagi Nelayan Pada Tahun 2014, dengan jumlah peserta pelatihan 30 orang, selama 6 hari. Total biaya pelatihan mulai dari kebutuhan bahan bahan untuk praktek, ATK peserta, uang saku peserta, konsumsi peserta, bantuan transport peserta, seragam kerja praktek peserta, akomodasi 4 orang pelatih , uang harian pelatih dan transport pelatih diasumsikan senilai Rp 85.000.000,- Pada tahun 2016 awal, Balai Diklat Perikanan Banyuwangi mengadakan evaluasi guna untuk mengetahui tingkat kemanfaatan /benefit dari pelatihan yang telah dilakukan. Analisis Kemanfaatan/benefit pelatihan akan dilakukan dengan pendekatan Return of Traing Investmen (RoTI). Untuk mengetahui isolasi efek pelatihan yang dilakukan dipilih metode :Control group , yaitu nelayan yang tidak mendapat pelatihan sebagai variable control.
Setelah diadakan pengambilan data diperoleh data-data sebagai berikut (Data Ilustrasi).
Tabel 1 : Data Produksi hasil tangkapan ikan dan Pendapatan responden.
Resp.
|
Hasil Tangkapan Ikan (Kg/minggu)
|
Pendapatan Rp
|
Harga /Kg Ikan
| |||
Kelompok Diklat
|
Kelompok Kontrol
|
Kelompok Diklat
|
Kelompok Kontrol
| |||
1
|
21
|
13
|
25,000
|
325,000
|
25,000
| |
2
|
25
|
17
|
625,000
|
25,000
|
25,000
| |
3
|
27
|
21
|
675,000
|
25,000
|
25,000
| |
4
|
34
|
19
|
850,000
|
75,000
|
25,000
| |
5
|
26
|
20
|
650,000
|
00,000
|
25,000
| |
6
|
28
|
22
|
700,000
|
50,000
|
25,000
| |
7
|
13
|
10
|
325,000
|
50,000
|
25,000
| |
8
|
34
|
31
|
850,000
|
75,000
|
25,000
| |
9
|
43
|
32
|
1,075,000
|
800,000
|
25,000
| |
10
|
32
|
22
|
800,000
|
550,000
|
25,000
| |
11
|
23
|
19
|
575,000
|
475,000
|
25,000
| |
12
|
40
|
34
|
1,000,000
|
50,000
|
25,000
| |
13
|
43
|
31
|
1,075,000
|
775,000
|
25,000
| |
14
|
41
|
29
|
1,025,000
|
725,000
|
25,000
| |
15
|
45
|
30
|
1,125,000
|
750,000
|
25,000
| |
16
|
47
|
23
|
1,175,000
|
575,000
|
25,000
| |
17
|
50
|
21
|
1,250,000
|
525,000
|
25,000
| |
18
|
34
|
18
|
850,000
|
450,000
|
25,000
| |
19
|
32
|
19
|
800,000
|
475,000
|
25,000
| |
20
|
32
|
23
|
800,000
|
575,000
|
25,000
| |
21
|
31
|
21
|
775,000
|
525,000
|
25,000
| |
22
|
54
|
32
|
1,350,000
|
800,000
|
25,000
| |
23
|
54
|
31
|
1,350,000
|
775,000
|
25,000
| |
24
|
55
|
40
|
1,375,000
|
1,000,000
|
25,000
| |
25
|
45
|
32
|
1,125,000
|
800,000
|
25,000
| |
26
|
42
|
23
|
1,050,000
|
575,000
|
25,000
| |
27
|
48
|
23
|
1,200,000
|
575,000
|
25,000
| |
28
|
53
|
45
|
1,325,000
|
,125,000
|
25,000
| |
29
|
43
|
30
|
1,075,000
|
750,000
|
25,000
| |
30
|
42
|
38
|
1,050,000
|
950,000
|
25,000
| |
Jumlah
|
1137
|
769
|
28,425,000
|
,225,000
|
25,000
|
Ket :
|
Isolasi Efek = 368
|
Harga per Kg Ikan = 25.000,-
|
Biaya Diklat = Rp. 85.000.000.
|
Penyelesaian :
|
= (25.000 x (1137-769)) x 100%
85.000.000
= 10,8 %
Kesimpulan :
- Biaya pelatihan selama 6 hari dengan jumlah peserta 30 orang membutuhkan Rp 85.000.000,- , dan biaya tersebut dapat dikembalikan secara bertahap setiap pekan senilai 10,8 % dari Rp 85.000.000.= Rp 9,180.000,-
- Biaya total pelatihan sudah dapat dikembalikan secara penuh pada pekan ke : 85.000.000. : 9,180.000
= 9,26 (pekan ke 9).
Analisis Cost Benefit Ratio (CBR)
Dengan CBR kita akan tahu seberapa besar nilai manfaat pelatihan persatu tahun. Dengan asumsi isolasi efek akibat pelatihan per pekan dari 30 orang adalah Rp 9.200.000, maka nilai isolasi efek dalam satu tahun diasumsikan hari efktif melaut per bulan adalah tiga pekan dan bulan efektif melaut bagi nelayan dalam setahun adalah diasumsikan 10 bulan satu rupiah uang yang dikeluarkan perusahaan. Berdasarkan data-data tersebut pada table di atas, selanjunya kita konversikan kedalam Isolasi Efek selama. Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut di atas maka Nilai Cost Benefit Ratio dapat diketahui sebagai berikut :
Isolasi Efek/pekan
|
Rp 9,200,000
|
Hari Efektif melaut/ bulan 3 pekan
|
3
|
Hari Efektif melaut setahun = 10 bulan
|
10
|
Isolasi Efek/tahun
|
276,000,000
|
Nilai CBR
|
3.25
|
|
Kesimpulan :
- Pelatihan layak untuk dilaksanakan dengan indikasi bahwa setiap Rp 1 dana yang korbankan pada pelatihan akan menghasilkan manfaat sebesar Rp 3,25.
atau,
- Net benefit dari pelatihan adalah sebesar Rp 276,000,000= benefit > cost
DAFTAR PUSTAKA
Balai Diklat Perikanan Banyuwangi, 2016 Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah BPPP Banyuwangi Tahun 2015.
Dessler, Gary. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Index
Ivancevich, John, M, dkk. 2008. Perilaku dan Manajemen Organisasi, jilid 1 dan 2 Jakarta : Erlangga.
Kirkpatrick, Donald L. (1996). Implementation Guidelines for the Four Levels of Evaluation. Training & Development, 1, 1.
Kirkpatrick,DonaldL.(1998). Evaluating Training Programs. San Francisco: Berrett Koehler Publishers, Inc.
Mangkunegara, Anwar Prabu., 2005. Evaluasi Kinerja SDM. Bandung : Reka Aditama.
)*Widyaiswara Madya Balai Diklat Perikanan Banyuwangi.
Comments
Post a Comment