UPWELLING DAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN PELAGIS
UPWELLING DAN DAERAH PENANGKAPAN
IKAN PELAGIS
Oleh:
Madyunin
UPWELLING
Pengertian
Upwelling
Upwelling merupakan naiknya massa air laut dari lapisan yang lebih
dalam ke lapisan permukaan. Gerakan naiknya air ini membawa serta air yang suhunya lebih
dingin, salinitas lebih tinggi, dan kaya akan zat-zat hara ke
permukaan (Nontji, 1993). Upwelling
merupakan fenomena oseanografi yang melibatkan wind-driven motion yang
kuat, dan biasanya membawa massa air yang kaya akan nutrien ke arah permukaan
laut. Upwelling merupakan sebuah
peristiwa yang berkaitan dengan gerakan naiknya massa air laut. Gerakan
vertikal ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sirkulasi laut.
Gerakan vertikal ini terjadi akibat
adanya stratifikasi densitas air laut, karena dengan penambahan kedalaman
mengakibatkan suhu menurun dan densitas meningkat yang menimbulkan energi untuk
menggerakkan massa air secara vertikal. Laut juga terstratifikasi oleh faktor
lain, seperti kandungan nutrien yang semakin meningkat seiring pertambahan kedalaman.
Dengan demikian adanya gerakan massa air vertikal akan menimbulkan efek yang
signifikan terhadap kandungan nutrien pada lapisan kedalaman tertentu.
Proses Terjadinya Upwelling
Angin menyebabkan pergerakan arus
secara vertikal disamping arus permukaan secara horisontal. Untuk memahami
pergerakan air secara vertikal tersebut, kita ingat Spiral Ekman. Transport
netto lapisan permukaan (dikenal dengan Transport Ekman), adalah 900
ke arah kanan di belahan bumi utara.
Gambar Proses terjadinya Upwelling , Ekman
transport memindahkan air permukaan dari sekitar pantai, air permukaan
dipindahkan , akibatnya air dari bawah naik ke permukaan ini diketahui sebagai
proses upwelling. Ini merupakan contoh pada pelahan bumi bagian utara.(Sumber :
NOAA . 2016)
Angin yang mendorong lapisan air
permukaan mengakibatkan kekosongan di bagian atas, akibatnya air yang berasal
dari bawah menggantikan kekosongan yang berada di atas. Oleh karena air yang
dari kedalaman lapisan belum berhubungan dengan atmosfer, maka kandugan
oksigennya rendah dan suhunya lebih dingin dibandingkan dengan suhu air
permukaan lainnya. Walaupun sedikit oksigen, arus ini mengandung larutan
nutrien seperti nitrat dan fosfat sehingga cederung mengandung banyak
fitoplankton.
Fitoplankton merupakan bahan dasar rantai
makanan di lautan, dengan demikian di daerah upwelling umumnya kaya ikan. Rendahnya
temperatur permukaan laut menyebabkan hilangnya panas dan mengubah iklim local.
Air bawah permukaan yang dibawa ke permukaan dari kedalaman 100-200 meter kaya
akan nutrien, yang mendukung pertumbuhan. Daerah upwelling ini mendukung pertumbuhan
organisme laut yang menyediakan sekitar setengah perikanan dunia (Gross, 1992).
Tipe - Tipe Upwelling
Setidaknya ada lima tipe upwelling
yaitu coastal upwelling, large-scale wind-driven upwelling in the ocean interior,
upwelling associated with eddies, topographically-associated upwelling, and
broad-diffusive upwelling in the ocean interior.
Coastal Upwelling
Coastal upwelling merupakan tipe yang paling banyak memiliki hubungan dengan
aktivitas manusia dan memberikan banyak pengaruh terhadapa produktivitas
perikanan di dunia, seperti ikan pelagis kecil (sardines, anchovies, dll.)
Laut dalam kaya akan nutrien termasuk
nitrate and phosphate, yang merupakan hasil dari dekomposisi materi organic (dead/detrital
plankton) dari permukaan laut.
Ketika
sampai ke permukaan, nutrien tersebut digunakan oleh fitoplankton, beserta CO2
terlarut dan dan energi cahaya matahari untuk menghasilkan bahanorganik melalui
proses fotosintesis.
Gambar
: Proses terjadinya upwelling pada perairan pantai (Coastal Upwelling)
Daerah
Upwelling memiliki produktivitas yang tinggi dibanding dengan wilayah lainnya.
Hal ini berkaitan dengan rantai makanan, karena fitoplankton berada pada level
dasar pada rantai makanan di laut. Daearah dari upwelling antara lain pantai
Peru, Chile, Laut arab, western South Africa, eastern New Zealand,
southeastern Brazil dan pantai California. Adapun rantai makanan di laut
adalah sebagai berikut : Phytoplankton -> Zooplankton -> Predatory
zooplankton -> Filter feeders -> Predatory fish Karena ini menjadi sebuah
rantai makanan, ini berarti bahwa setiap spesies adalah spesies kunci dalam
zona upwelling.
Bagian
kunci dari oseanografi fisika yang menimbulkan coastal upwelling adalah efek
Coriolis yang didorong oleh wind-driven yang derung diarahkan ke
sebelah kanan di belahan bumi utara dan ke arah kiri di belahan bumi selatan.
Equatorial Upwelling
Upwelling dan downwelling juga terjadi pada lautan terbuka dimana angin meniup air permukaan untuk menyimpangkan/membelokan (memindahkan) dari wilayah (karena upwelling) atau ke daerah pertemuan (Karena downwelling). Sebagai contoh upwelling terjadi di sepanjang Katulistiwa. Ingat bahwa defleksi karena efek Coriolis berbalik arah di kedua sisi khatulistiwa. Oleh karena angin bertiup ke arah barat, angin menggerakan arus permukaan dekat khatulistiwa mengalir ke utara pada sisi utara khatulistiwa dan ke selatan pada sisi selatan . Air permukaan yang pindah dari khatulistiwa digantikan oleh air upwelling.
Fenomena yang sama terjadi di ekuator. Apapun lokasinya ini merupakan hasil dari divergensi, massa air dengan nutrien terangkat dari lapisan bawah dan hasilnya ditandai oleh fakta bahwa pada daerah ekuator di pasifik memiliki konsentrasi fitoplankton yang tinggi.
Upwelling Katulistiwa, (A) Padagambar
di atas tampak samudera dari 5 derajat
Lintang Selatan sampai 5 derajat Lintang Utara, pertemuan angina dua
belahan bumi terlihat bertemu dekat katulistiwa. Akibat Ekman transport pergi
dari Katulistiwa menimbulkan upwelling seperti tampak pada gambar (B) tampak melintang vertical dari 5⁰ LS
samapai 5⁰ LU.
Southern
Ocean Upwelling
Upwelling
dalam skala besar juga terjadi di Southern Ocean. Di sana, dipengaruhi angin
yang kuat dari barat dan timur yang bertiup mengelilingi Antarctika, yang
mengakibatkan perubahan yang signifikan terhadap aliran massa air yang menuju
ke utara. Sebenarnya tipe ini masih termasuk ke dalam coastal upwelling. Ketika
tidak ada daratan antara Amerika Selatan dengan Semenanjung Antartika, sejumah
massa air terangkat dari lapisan dalam. Dalam banyak pengamatan dan sintesis
model numerik, upwelling samudra bagian Selatan merupakan sarana utama untuk
mengaduk material lapisan dalam ke permukaan.
Beberapa
model sirkulasi laut menunjukkan bahwa dalam skala luas upwelling terjadi di
daerah tropis, karena didorong tekanan air mengalir berkumpul ke arah lintang
rendah dimana terdifusi dengan lapisan hangat dari permukaan.
Tropical
cyclone upwelling
Upwelling
juga bisa disebabkan oleh tropical cyclone yang melanda suatu wilayah
laut, biasanya apabila bertiup dengan kecepatannya kurang dari 5 mph (8 km/h).
Artificial
Upwelling
Upwelling
tipe jenis ini dihasilkan oleh perangkat yang menggunakan energi gelombang laut
atau konversi energi panas laut untuk memompa air ke permukaan. Perangkat
seperti telah dilakukan untuk memproduksi plankto.
Non-oceanic
upwelling
Upwelling juga terjadi di lingkungan
lainnya, seperti danau, magma dalam mantel bumi. Biasanya akibat dari konveksi.
Dampak
Upwelling
Sebaran
suhu permukaan laut merupakan salah satu parameter yang dapat dipergunakan
untuk mengetahui terjadinya proses upwelling di suatu perairan (Birowo dan
Arief, 1983). Dalam proses upwelling ini terjadi penurunan suhu permukaan laut
dan tingginya kandungan zat hara dibandingkan daerah sekitarnya. Tingginya
kadar zat hara tersebut merangsang perkembangan fitoplankton di permukaan.
Karena
perkembangan fitoplankton sangat erat kaitannya dengan tingkat kesuburan
perairan, maka proses air naik selalu dihubungkan dengan meningkatnya
produktivitas primer di suatu perairan dan selalu diikuti dengan meningkatnya
populasi ikan di perairan tersebut.
Kandungan
klorofil-a dapat digunakan sebagai ukuran banyaknya fitoplaknton pada suatu
perairan tertentu dan dapt digunakan sebagai petunjuk produktivitas perairan.
Berdasarkan penelitian Nontji (1974) dalam Presetiahadi, (1994) nilai rata-rata
kandungan klorofil di perairan Indonesia sebesar 0,19 mg/m3, nilai rata-rata
pada saat berlangsung musim timur (0,24 mg/m3) menunjukkan nilai yang lebih
besar daripada musim barat (0,16 mg/m3). Daerah-daerah dengan nilai klorofil
tinggi mempunyai hubungan erat dengan adanya proses penaikan massa air/
upwelling (Laut Banda, Arafura, Selat Bali dan selatan Jawa), proses pengadukan
dan pengaruh sungai-sungai (Laut Jawa, Selat Malaka dan Laut Cina Selatan).
Terjadinya arus upwellling dan
downwelling karena :
1. Karena posisi edar matahari di
ekuator, menjadikan temperature permukaan bumi di lautan menjadi hangat. Air
yang hangat ini bergerak ke arah dimana temperaturnya lebih rendah yaitu di
bagian dalam lalu menyebar pergerakannya ke bagian permukaan air dibelahan
terjauh dari ekuator (equatorial upwelling).
2. Pertemuan atau lebih arus di
permukaan yang saling bertentangan arah. Kala pertemuan arus permukaan air itu
saling bertemu, maka mau tak mau arus air dari permukaan akan bergerak ke bawah
(downwelling).
3. Gerak angin yang terjadi di pesisir
pantai bisa menyebabkan terjadinya upwelling dan downwelling atau mempercepat
akselerasi perputaran siklus dari kedua fenomena itu (coastal upwelling and
coastal downwelling) apalagi jika distimulasi oleh pengaruh celestial seperti
daya gravitasi bulan dan gerak rotasi bumi yang berlawanan maupun sebaliknya.
4. Kontur permukaan dasar laut juga
bisa menjadi penyebab terjadinya kedua fenomena itu, seperti terdapatnya dasar
laut yang sangat curam dan menyempit dimana arus gerak air semakin cepat
akselerasinya.
Gerak arus air bisa memberikan
keuntungan maupun kerugian. Arus siklus upwelling maupun downwelling yang
terlalu ekstrim justru bisa merugikan kelangsungan hidup suatu habitat
ekosistem. Namun lewat perkembangan teknologi maritim, siklus downwelling dan
upwelling justru bisa dimanfaatkan sebagai faktor pembangkit turbin bagi tenaga
potensial air yang digerakkan oleh kekuatan arus serta perbedaan temperatur
yang ekstrim.
DAERAH PENANGKAPAN IKAN
Pengertian shing ground.
Fishing
ground atau daerah penangkapan ikan adalah suatu perairan dimana ikan yang
menjadi sasaran penangkapan diharapkan dapat tertangkap secara maksimal, tetapi
masih dalam batas kelestarian sumberdaya.
Sumberdaya Ikan Pelagis
Samapai
saat ini sumberdaya ikan pelagis belum dimanfaatkan secara optimal. Menurut Dahuri (2002)
potensi ikan pelagis besar di
Indonesia sebesar 1,165 juta ton per tahun dan yang telah dimanfaatkan
sebesar 736,16 ribu ton per tahun atau 63, 17 %
dari total potensi yang ada , walaupun diberbagai perairan menunjukkan gejala tangkap lebih (overfishing) seperti pada perairan
Selat Malaka dan Laut Jawa.
Ikan
pelagis merupakan jenis ikan yang hidup
atau menghuni perairan lapisan permukaan sampai
lapisan tengah (mid layer) .
Pada daerah-daerah dimana terjadi penaikan massa air (upwelling) sumberdaya ini dapat
membentuk biomassa yang besar. Ikan pelagis umumnya senang bergerombol,
baik dengan kelompoknya maupun dengan jenis
ikan lainnya, namun terdapat
kecenderungan bergerombol berdasarkan
kelompok ukurannya.
Kebiasaan
makan ikan pelagis sangat tergantung dari struktur suhu vertical dengan pengertian ikan pelagis akan berenang sedikit lebih
kedalam waktu suhu udara meningkat dari biasanya (Laevastu dan Hayes, 1998).
Ikan Ikan Pelagis
Ikan
cakalang termasuk dalam family Scobridae, bergenus Katsuwonus dan spesiesnya Katsuwonus
pelamis, (Linne, 1757). Ikan cakalang biasa juga disebut skipjack
tuna dan memiliki cici-ciri
morfologi seperti gambar berikut.
Gambar Ikan pelagis besar
: (Skipjeck tuna, Bluefine tuna
,Yellowfine tuna , Big eye tuna dan Albacora tuna)
Tingkah
laku dan Penyebaran Ikan Cakalang dan Madidihang.
Distribusi ikan tuna dan
cakalang di laut sangat ditentukan oleh beberapa factor , baik factor internal ikan itu sendiri maupun
factor ekternal dari lingkungan. Faktor internal meliputi jenis
(genetis), umur dan ukuran, serta tingkah laku (behaviore). Perbedaan genetis ini menyebabkan perbedaan dalam
morfologi, respon fisiologi dan daya adaptasi terhadap lingkungan. Faktor
ekternal merupakan factor lingkungan, diantaranya adalah parameter oceanografi seperti suhu, salinitas, dan lapisan kedalaman thermoklin , arus dan sirkulasi masa air. , oksigen dan kelimpahan
makanan.
Kedalaman renang tuna dan
cakalang bervariasi tergantung jenisnya. Umumnya tuna dan
cakalang tertangkap pada kedalaman 0-
400 meter. Salinitas perairan yang
disukai berkisar 32 – 35 ‰ atau
diperairan oseanik . Suhu perairan berkisar
antara 17 - 31 ⁰C.
Menurut Lavastu dan Hole
(1978) kisaran salinitas optimum bagi beberapa jenis tuna
antara lain yelolow fine tuna
18 – 38 ‰, bluefine tuna 18 – 38 ‰ , Albakora Tuna 33,65 35,18 ‰ . Poskal
(1953) menyebutkan bahwa salinitas yang
disenangi skipjack berkisar antara 32-35 ‰.
Pada kenyataannya cakalang
dan tuna jarang terdapat pada
perairan dengan kadar salinitas rendah, seperti di perairan pantai. Di
Hawaii cakalang banyak dijumpai pada
perairan bersalinitas 34,8 -34 ‰,
sedangkan di Jepang hasil tangkapan cakalang meningkat pada salinitas 35 ‰
(Walldron, 1963). Konsentrasi oksigen hampir tidak ada pengaruhnya terhadap penyebaran horizontal tuna dan cakalang, sebab dipermukaan lautan
selalu jenuh dengan oksigen.
Fosfat fosforus (PO4-P)
mempengaruhi penyebaran tuna dan cakalang, sebab fosfat fosforus mempengaruhi
kesuburan perairan, yang berarti
mempengaruhin kelimpahan ketersediaan makanan tuna dan cakalang . Nayasi dan
Mori (1986) mendapatkan 65 family
ikan pada stomach yellowfine tuna yang tertangkap di laut Pasifik Barat, Tengah dan
Timur. Hal ini sebagai petunjuk bahwa
tuna dan cakalang terdapat
diperairan yang banyak menyediakan makanan (perairan subur).
Tuna cakalang banyak ditemukan diperairan dengan tingkat kecerahan tinggi, dimana mangsanya terlihat
dengan jelas. Menurut Blackburn (1965) usaha perikanan tuna dan cakalang sangat baik dilakukan di perairan dengan tingkat kecerahan
15 meter samapai dengan 35 meter.
Di perairan Indonesia timur tingkat kecerahan dibeberapa fishing
ground berkisar antara 10-30 meter.
Berikut ini beberapa
parameter oseanografi hasil pengukuran
dibeberapa lokasi penangkapan tuna dan
cakalang :
1).
Perairan Maluku suhu permukaan berkisar
26 – 30 ⁰C,
kecerahan 20-30 meter, salinitas 33-35 ‰
, kadar oksigen 2-4 ml/l (Huae, 1975)
2).
Kakiey (1985), menyatakan bahwa tuna dan cakalang di perairan Ambon dan Maluku Utara tertangkap pada perairan bersuhu permukaan 27-30⁰C dan kecerahan pada 17 -28 meter.
3).
Marta, GS dan Suhendrata, T (1984) menyatakan bahwa pada fishing ground tuna dan cakalang di
perairan Sorong memiliki suhu permukaan laut antara 26-31⁰C.
Madidihan (Thunua Alacares) tersebar hampir diseluruh perairan Indonesia.
Panjang madidihan bisa mencapai lebih
dari 2 meter. Jenis tuna ini menyebar diperairan dengan suhu berkisar 17-31⁰C dengan suhu optimum antara 19-28⁰C, sedangkan suhu yang baik untuk
penangkapan adalah berkisar antara 20 -
28⁰C (Dalam
Lavastu dan Hela 1987).
Di perairan Indonesia juga terdapat
seumua jenis tuna kecuali tuna
sirip biru utara dan tuna sirip hitam. Tuna sirip iru utara adalah ikan
penghuni samudra Pasifik dan Atlantik, sedangkan tuna sirip hitam hanya
penghuni samudra Atlantik (uktolseja at al, 1998).
Uktolseja at al (1987) , mengatakan
bahwa jenis tuna pada
pertumbuhannya mengalami
penyesuaian dengan habitatnya, pada
ukuran kecil ikan tuna cenderung
hidupnya bergerombol dan terdapat pada lapisan permukaan air, kemudian semakin besar ukuranya akan bergerak ke lapisan air yang lebih dalam (sub surface) dan hidupnya lebih soliter.
Madidihan bersifat
epipelagis dan oceanis yang menyukai perairan
di atas dan di bawah lapisan thermoklin.
Perubahan suhu yang tinggi mengakibatkan madidihan meninggalkan lapisan
tersebut. Suhu air yang sesuai berkisar antara 18 – 31 ⁰C , penyebaran secara geografis secara
umum di dunia terdapat disenua perairan tropis dan sub tropis antara 40⁰ LU sd 40⁰LS kecuali Laut Mediteran
(Uktolseja et al, 1988). Umumnya tuna
bisa hidup di daerah pertemuan dua arus (upwelling),
konvergensi dan dipergensi yang
merupakan daerah berkumpulnya plankton. Kadar garam yang disenangi tuna sekitar
34 ‰ , temperature optimum 15 -30 ⁰C . Kedalaman renang optimum Thunus alalunga 80 meter, Thunus albacares 57 meter dan
Thunus obesus 58 meter.
Tuna merupakan salah
satu jenis ikan pelagis yang dalam kelompok ruayanya akan muncul sedikit di atas lapisan termoklin pada siang hari dan dan akan
beruaya ke lapisan permukaan pada
sore hari. Pada malam hari akan menyear di lapisan permukaan dan
termoklin dan padfa saat mata hari terbit akan berada kembali diatas lapisan thermoklin (Lavastu dan Hela , 1970).
Matsumoto et al. (1984)
dalam penelitiannya menyatakan
bahwa hasil tangkapan long liner , tuna
tersebar menurut lapisan air dengan
cakalang (Katsuwonus pelamis)
menempati lapisan teratas (permukaan) diikuti dengan blue fin tuna (Thunus macoyii) di lapisan bawahnya,
kemudian berturut turutYellowfine tuna (Thunus
albacares), big eye tuna (Thunus
obesus dan albacore tuna (Thunus alalunga). Untuk lebih jelasnya bisa
dilihat pada table berikut :
Jenis Tuna
|
Suhu Optimum (⁰ C)
|
Lapisan renang (meter)
|
Skipjeck tuna
|
20-24
|
0-40
|
Bluefine tuna
|
14-21
|
50-300
|
Yellowfine tuna
|
20-28
|
0-200
|
Big eye tuna
|
17-23
|
50-400
|
Albacora tuna
|
14-22
|
20-300
|
Sumber : Hela and Lavastu
(1970)
Ikan Cakalang memiliki
tingkah laku (behaviore) sebagai ikan
pelagis yang hidup bergerombol dalam jumlah yang besar (shcoling). Menurut nakamura (1989) shcoling tuna biasanya bterdiri dari ikan yang berukuran sama walaupun terdapat
dalam satu erombolancampuran antara dua
spesies atau lebih.. Hali ini mungkin disebabkan kerena ikan yang
berukuran lebih kecil tidak memiliki kemampuan kecepatan renang untuk mengikuti
ikan yang lebih besar.
Selanjutnya
dikatakan bahwa hal-hal yang menyebabkan
ikan bergerobol adalah disebabkan karena :
-
Sebagai
perlindungan dari predator
-
Mencari
dan menangkap mangsanya
-
Memijah
pada waktu musim dingin, beruaya dan bergerak serta adanya pengaruh dari factor
sekelilingnya/lingkungan.
Ayodya (1975)
mengatakan bahwa untuk menemukan
gerombolan cakalang ada beberapa
petunjuk antara lain :
-
Adanya
burung yang menukik dan menyambar di permukaan laut.
-
Adanya
ikan yang meloncat loncat ke atas permukaan
-
Mengikuti gerakan kayu hanyut, beruaya bersama ikan
paus dan sebagainya.
Nikcolsky (1963), cakalang
bermigrasi secara bergerombol , karena mencari perairan yang kaya akan makanan, mencari tempat untuk memijah,
dan tempat terjadinya perubahan beberapa
factor lingkungan perairan seperti suhu air, salinitas dan arus.
Populasi ikan cakalang
yang dijumpai diperairan Indonesia
bagian timur sebagian besar berasal adari Samudera Pasifik yang memasuki
perairan ini mengikuti arus. Perairan
Indonesia secara geografis terletak
antara Samudera Pasifik deng an Samudera Hindia , oleh kerena itu sebagian besar ikan ikan yang ada di kedua
samudre tersebut juga terdapat di
Indonesiatermasuk diantaranya tuna dan cakalang.
Laut
Sulawesi dan laut Maluku merupakan daerah penyebaran tuna dan cakalang.
Diantaranya jenis tuna dan cakalang yang
terdapal di lndonesia, jenis madilihang (Thunnus
albacares) rnerupakan ienis yang paling dorninan. Dari hasil tangkapan
rawal tuna di perairan lndonesia antara tahun 1950 - 1970. lemyata hasil
tangkapan didominasi madidihang sebesar 66,6% kernudian disusul tuna mata besar
24.1% dan Albacora 2,7 % (Ayodhyoa,1978). Kenyataan ini juga diperkuat oleh pendapat
Suhendrab dan Bahar (1986) hasil tangkapan rawai tuna Jepang tahun 1967-1981 di
perairan yang sarna juga didominasi rnadidihang, yaitu sebesar 65.7 % dari
total hasil tangkapan tuna PT. Ferikanan Samudra Besar sejak tahun 1975 - 1985
juga didominasi madidihang dengan rata-rata setbp tahunnya yaitu 63,8 % dari
total hasil tangkapan.
Faktor-Faktor
Oseanografi yang Mempengaruhi Keberadaan
Ikan
Faktor lingkungan sangat
berpengaruh terhadap keberadaan sumber
daya ikan di suatu perairan. Secara umum
diketahui bahwa sebaran
kelimpahan ikan berhubungan erat
dengan karakteristik lingkungannya.
a. Suhu
Permukaan Laut
Salah satu parameter oceanografi yang mencirikan massa air di lautan adalah suhu. Massa
air yang terdapat di laut berbeda-beda karakteristiknya dari satu tepat dengan tempat lainnya. Untuk
menandai berbagai karakter massa air tersebut dipakai parameter suhu
sebagai indicator .
Sebaran suhu pada perairan Indonesia pada dasarnya dapat dibedakan menjadi tiga
lapisan yaitu Lapisan Hangat (homogenious layer) di lapisan atas ,merupakan
lapisan yang memiliki suhu hangat (sekitar 28 C) yang homogeny sampai pada
lapisan kedalaman 50-70 metet. Lapisan termokline (discontinuity layer)
dilapisan tengah dimana suhu menurun dengan cepat dan terdapat pada kedalaman
100 -200 m. Lapisan dingin (deep layer) dilapisan dalam merupakan lapisan dengan suhu dingin biasanya kurang
dari 5 c pada kedalaman lebih dari 1000 m (Nontji, 1993).
Faktor lain yang mempengaruhi suhu yaitu kondisi
meteorology , arus permukaan, ombak, upwelling, divergensi, konvergensi dan
perubahan bentuk es di daerah kutub.
Faktor meteorology disini yang berpengaruh adalah curah hujan, kelembaban udara, penguapan, suhu
udara , kecepatan angina, dan intensitas mata hari.
Suhu perairan sangat mempengaruhi pertumbuhan ikan,
aktifitas dan mobilitas gerakan, ruaya, penyebaran, kelimpahan,
penggerombolan, maturasi,
fekunditas, pemijahan, masa inkubasi, dan penetasan telur serta kelulushidupan
larva ikan. Perubahan suhu perairan di atas suhu normal atau di atas suhu
optimal menyebabkan penurunan aktifitas gerakan
dan aktifitas makan serta menghambat berlangsungnya proses pemijahan.
Pada umumnya semakin bertambah besar dan semakin tua ikan, ada kecenderungan
menyukai dan mencari perairan dengan suhu yang lebih rendahdi perairan yang
lebih dalam.
Untuk meramalkan hasil tidaknya dalam
penangkapan ikan harus memperhatikan :
-
Suhu
optimum dari semua jenis ikan yang akan kita tangkap.
-
Pengamatan
hidrografi dan meteorology untuk
mendapatkan keterangan tentang
isothermal permukaan perairan
-
Perubahan
hidrografi harus dapat diramalkan.
Suhu perairan berpengaruh alngsung
terhadap kehidupan laut. Pengaruh tersebut meliputu laju fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologi hewan, khususnya proses
metabolism dan siklus reproduksi ikan
mempunyai kisaran suhu optimum untuk
hidup. Pengetahuan tentang suhu optimum
ini akan bermanfaat dalam meramalkan keberadaan kelompok ikan, sehingga dapat
dengan mudah dilakukan penangkapan.
b. Salinitas
Sebaran salinitas dilaut dipengaruhi beberapa factor,
seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai.
Salinitas dilaut terbuka sangat
bervariasi antar 33-37 ‰ dengan nilai
rata-rata 35 ‰ . Pada
perairan dasar homogeny sampai lapisan dasar, dengan salinitas dan suhu
yang homogen.
Nilai
salinitas air laut akan semakin besar
dengan bertambahnya kedalaman. Perubahan salinitas terbesar pada
kedalaman 100-1000 m. daerah dimana terjadi perubahan salinitas yang cepat
disebut lapisan Haloklin. Berdasarkan pola distribusi
salinitas secara vertical, kolom
perairan dibedakan menjadi empat
lapisan/zona yaitu :
1) Zona permukaan, zona ini
tercampur dengan baik, dengan ketebalan 50-100 m dan memiliki nilai salinitas
yang seragam.
2) Zona dimana terjadi perubahan salinitas secara relative besar dan disebut Zona Haloklin.
3). Zona dengan salinitas yang seragam dan berada dibawah lapisan
haloklin, hingga kelapisan dasar alut.
4). Zona 600-1000 m, dimana
nilai salinitas menjadi minimum.
c. Arus
Arus merupakan gerakan air yang mengakibatkan perpindahan masa air
secara horizontal . Angin mendorong perpindahan air permukaan sehingga
menghasilkan suatu gerakan arus horizontal
yang sangat lambat yang mampu mengangkat suatu volume air yang sangat besar melintasi jarak yang jauhdi
lautan. Arus ini mempengaruhinpenyebaran
organisme laut dan juga menentukan pergeseran daerah biogeografi melalui perpindahan air hangat ke daerah yang lebih
dingin dan sebaliknya.(Nybakken, 1992).
Daerah fishingroun yang baik
biasanya berlokasi di daerah perbatasan
/pertemuan dua arus (Konvergensi dan divergensi) dan phenomena oceanografi
lainnya, bukan saja merupakan perbatasan
penyebaran bagi ikan tetapi juga menjadikan penyebab berkumpulnya ikan. Dari pengamatan
pengamatan yang dilakukan, ikan
cenderung berkumpul pada lapisan
isotherm tertentu dan padapertemuan dua arus tertentu yang memiliki perbedaan suhu horizontal yang jelas menjadi
pembatas bagi penyebarannya spesies-spesies tertentu.
Menurut Nontji 1993, volume transport
air yang menuju ke Laut Banda pada musim
barat cukup besar dan tidak sebanding dengan yang keluar lewat Laut Maluku, Laut Seram dan Laut
Arafura. Sebagai konsekwensi langsung,
air di Laut Banda ini akan menumpuk dan akhirnya akan tenggelam dan hanya
bisa lari keluar ke Samudera Hindia
pada kedalaman 1000 m lewat celah sempit di Palung Timor. Dan sebaliknya
pada musim timur begitu banyak air yang terangkut keluar, dari laut Banda menuju Laut Flores dan Laut Timor sehingga terjadi
kekosongan yang tak sepenuhnya dapat
tergantikan oleh air permukaan
sekitarnya. Sebagai akibatnya air dari lapisan bawah sekitar 125-300 m naik ke permukaan, inilah yang dikenal dengan
air naik (Upwelling) yang
mengangkat air yang kaya zat hara dari
lapisan dalam ke permukaan hingga
membuat Laut Banda subur.
d. Klorofil-a
Klorofil-a
merupakan salah satu pigmen fotosintesis yang paling penting bagi organisme
yang ada di perairan . Ada tiga klorofil yang dikenal hingga saat ini yaitu,
klorofil –a , klorofil-b dan klorofil-c. Disamping itu ada beberapa jenis
pigmen penting dalam fotosintesis, seperti karotin dan xantofil. Dari pigmen
tersebut klorofil-a merupakan pigmen
yang paling umum terdapat pada
fitoplankton, oleh karena itu
konsentrasi fitoplankton sering
dinyatakan dalam konsentrasi klorofil-a (Parson et al, 1984).
Kecepatan
pertumbuhan bahan organic dalam proses fotosintesis pada satu luasan tertentu
dari perairan dikenal dengan produktifitas primer perairan. Di laut
fitoplankton memegang peranan penting sebagai produsen primer. Oleh karena itu
klorofil-a fitoplankton sering dinyatakan sebagai indek produktivitas biologi lingkungan oseanik yang
dikaitkan dengan produksi ikan. Konsentrasi klorofil-a yang tinggi lebih dari
2,0 mg/m3 dapat menopang
perkembangan perikanan komersial.
Konsentrasi
klorofil-a di lautan memiliki nilai yang berbeda secara vertical, dimana hal ini dipengaruhi
oleh factor-faktor oseanografi
seperti suhu permukaan laut, angina,
arus dan lain lain. Fluktuasi nilai tersebut dapat diamati secara langsung atau
dengan menggunakan teknologi pengindraan jarak jauh (indraja). Konsentrasi
klorofil-a disuatu perairan dapat
memberikan rona laut yang khas sehingga
melalui metode indraja dengan
wahana satelit, konsentrasi pigmen tersebut dapat diduga.
Data
indraja memiliki kelebihan yaitu bisa mengukur nilai klorofil-a yang mencakup
daerah yang luas, yang dilakukan secara serentak dalam waktu yang bersamaan
(sinoptik). Hal ini berguna untuk
mengatasi perubahan klorofil secara temporal.
Pustaka
Ayodhyoa
AU. 1981. Metode Penangkapan Ikan . Yayasan Dewi Sri Bogor.
Birowo
S. 1979. Kemungkinan terjadinya Upwelling di Laut Flores dan Teluk Bone Lembaga
Oseanografi Nasional LIPI Jakarta.
Dahuri
R, 2001 menggali Potensi Kelautan dan Perikanan
dalam rangka Pemulihan
Ekonomi Menuju Bangsa yang Maju,
Makmur dan Berkeadilan
Hela
I dan T Lavastu. 1970 . Fisheries
Oceanography. Fishing News (Books) Ltd. London.
Ilahude
AG. 1999. Pengantar Oseanografi Fisika . LP3O LIPI, Jakarta.
Tadjuddah
M.2005 . Analisis Daerah penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) dan
Madidihang (Thunus albacares) dengan Menggunakan Data Satelit di Perairan Kab. Wakatobi
Sulawesi Tenggara . Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor (Thesis)
Nontji
A, 1993 Laut Nusantara Penerbit Jambatan Jakarta
Uktolseja
JCB. 1987. Estimated Growth Parameter and Migration of Skipjack Tuna-Katsuwonus
pelamis in the Eastern Indonesian Water Through Tagging Experiments. Jurnal
penelitian Perikanan Laut No. 43 Tahun 1987. Balai Penelitian Perikanan Laut ,
Jakarta.
Comments
Post a Comment